Kamis, 26 Oktober 2017

PUNK is Dead !!

Edisi: 92/Sep/2007

Sabtu malam Minggu, Budi kaget ngelihat tampang temannya, si Yanto. Penampilannya beda banget dari biasanya. Pakaiannya serba item. Bikin komplit badan yang warnanya memang ga kalah kucel. Rambut Yanto dimodel mohawk dengan gaya landak. Baju gelapnya berpadu dengan gambar tengkorak dan api merah menyala. Ga kalah, aksesoris wajib pria malam, berupa rantai yang mengkilap di saku. Klop dengan piercing di kuping sebelah kiri dan hidung sebelah kanan, berkilau, menyinari wajah Yanto yang cukup mengesankan bak bencana alam. Celananya singset banget. Press body. Sampe-sampe Budi mikir, "Apa si Yanto salah minum susu diet ya?" Rasa penasaran pun memenuhi otak si Budi. Lalu Yanto sambil nyengir, nyapa si Budi, "Oooi…kenapa Bud? Jangan bengong gitu? Kaget ya. Aku ikut punkers. Ini gaya punk. Trendi lho. Sekarang lagi in. Kamu ga ngikut juga?....Udah ya Oi…Aku mau jalan ama yang laen. Daaa…" Seru Yanto sambil berlalu. Duuaarr…bak kesamber kereta Shinkansen. Sambil geleng-geleng kepala, Budi masuk ke dalam rumah.

Sobat, mungkin ga cuma Budi aja yang pernah ngalami hal ini. Kita tentunya secara live atau engga, pernah ngelihat sosok yang kurang lebih sama seperti si Yanto. Yup, sosok punkers alias generasi punk. Nah, tema inilah yang akan jadi topik bahasan Islamuda kali ini. Why? Soalnya, fenomena punkers di kota-kota metropolis lagi mewabah saat ini. Ga hanya di tepi jalan raya, di mall atau alun-alun kota, bahkan juga nyebar di sekolah hingga di dalam kampung. Gaya hidup punkers seakan udah jadi model baru kaum muda, yang konon muncul sebagai perwujudan pemberontakan dan ketertindasan. Contohnya kaum punk yang menghuni persimpangan Jalan Munggur-Solo-Gejayan, Yogyakarta. Mereka nongkrong hingga larut malam, kadang-kadang sampai dini hari. Mengamen adalah kegiatan rutin mereka. Uang hasil mengamen untuk membeli lapen (arak tradisional khas Yogya). Hal yang mirip terjadi di Surabaya. Di depan balai kota, Grahadi jalan Pemuda, setiap malam minggu puluhan anak punk ngumpul, dan ngelakuin kegiatan yang ga jelas ujug-ujugnya. Yang pasti di tengah acara, anak-anak punk itu minum minuman keras dan nyedot narkoba. Pak Polisi, tolong tertibin dong!

Sobat, gimana sih awalnya muncul istilah punk? Sampe ada dandanan aneh kayak gitu. Gimana pula perkembangan punk di dunia? Kok bisa punk masuk ke negeri kita? Apa bener sih gaya hidup punk itu udah basi? Nah, penasaran kan… simak terus deh buletin yang kamu cintai ini. Lanjuut…

Asal Mula Punk

Sobat, ga banyak yang tahu pasti soal lahirnya kaum punk dan komunitasnya. Namun sebagian besar sumber menyatakan kalo kisah lahirnya kaum punk diawali pada tahun 1971 ketika Lester Bangs, wartawan majalah semi-underground Amerika, Creem, menggunakan istilah punk untuk mendeskripsikan sebuah aliran musik rock yang semrawut, asal bunyi, namun bersemangat tinggi. Musik tersebut dibuat dan digemari oleh para narapidana Amerika yang terkenal brutal, sadis dan psikopat. Kata punk itu sendiri lazim digunakan oleh kaum narapidana Amerika untuk nyebut partner atau pasangan pasif dalam hubungan homoseksual. Idiihh…. Sejak saat itu, para napi disana seringkali menggunakan istilah punk dan punkers. So, buat kamu yang ngakunya punkers, segera sadar deh. Ga mau kan, kalo punya sebutan si Jablay yang doyannya "mangga" makan "mangga". Ih amit-amit lho. And by the way, penggunaan kata punk sendiri hingga saat ini dipakai sebagai kata sifat untuk sesuatu hal yang dianggap buruk dan tak berguna alias sampah. Tuh kan.

Sobat, karena asal mulanya dari para narapidana, ga salah kalo sekarang kita lihat penampilan anak-anak yang ngakunya punk ikut awut-awutan. Kaum punk memang bukanlah tipikal anak muda masa kini yang doyan clubbing dan dugem. Jauh banget dengan karakter metroseksual. Meski demikian keduanya punya satu kesamaan, yaitu pola pikir dan sikap yang serba bebas. Sa-karepe dhewe. Bikin pusing tujuh puluh tiga keliling.

Nah, beda banget dari makna awal punk yang sejatinya adalah kaum homoseksual di penjara. Pengertian punk yang sejati sebenarnya udah mati sebatas di penjara doang. Ga laku kalo dibawa keluar penjara. Apalagi, masyarakat cenderung ga suka dan nolak keberadaan punk dan punkers. Ga bakal ada orang yang doyan hombreng. Kecuali dia hombreng juga. Hehehe. Problemnya, ga hanya masalah penampilan yang sering bikin orang lain gerah. Tapi komunitas punk juga menggunakan kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Malah, sampai saat ini punk tetep identik dengan brutalitas dan vandalisme. Sadar dong choi…

Akibat pengakuan masyarakat yang tak kunjung datang alias mereka ga dianggap di tengah masyarakat, kekecewaan berubah jadi bentuk protes. Padahal kalo kaum punk introspeksi, mereka sendiri kan ga ngakui tatanan masyarakat, gimana mau diakui oleh masyarakat? Ngimpi kali…. Nah, lambat laun, kaum punk mulai berganti haluan. Pemahaman aslinya pun hilang. Bentuk protes mereka dijadikan lirik-lirik lagu. Punk kemudian berkembang sebagai aliran musik, masih membawa ciri-ciri narapidana yang serba ga karuan. Lagu-lagu punk lebih mirip teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia. Lirik lagu-lagu mereka berisi soal rasa frustrasi, kemarahan, dan kejenuhan akibat kompromi dengan hukum. Selain itu, mereka bersuara tentang rendahnya pendidikan, pengangguran, represi aparat dan kebencian pada penguasa. Makna yang udah bergeser jauh ini, udah jadi bukti kalo sebenarnya punk dan punkers itu sudah mati. Pengertian punk yang sejati udah kekubur di penjara. Titik.

Plagiat Punk

Sobat, karena irama musik yang bising dan ga nyaman di telinga, band-band yang mengatasnamakan punk seperti Sex pistols dan The Clash hanya punya penggemar dikit banget. Mereka ga memiliki penikmat seheboh The Beatless ataupun Elvis Presley pada eranya. Apalagi isi dan lirik lagu band tersebut sebagian besar bersuara tentang kebencian mereka kepada negara dan seluruh tatanannya alias berjiwa pmberontak. Pantes, soalnya memang mereka ga tau aturan dan ga mau diatur. Namun kalahnya Amerika Serikat dalam Perang Vietnam di tahun 1980-an ikut manasin suhu dunia musik punk pada saat itu. Lahirlah band-band atas nama punk gelombang kedua (1980-1984), seperti Crass, Conflict, dan Discharge dari Inggris, The Ex dan BGK dari Belanda, dan MDC serta Dead Kennedys dari Amerika. Meski demikian, syair yang mereka gunakan sebagai lirik dalam lagunya, tak lagi tentang revolusi dan perlawanan. Namun lebih banyak ke kebingungan diri untuk mencari arti hidup. Sebagian besar band itu, cuma gunakan aksesoris punk untuk sekedar nambah nilai jual. Lagi-lagi cuma untuk cari duit.

Terbukti dengan munculnya band yang mengatasnamakan punk di tahun belakangan ini seperti Blink-182, Green Day, Bowling for Soup, New Found Glory, Sum 41, Good Charlotte, dan Simple Plan, jika disimak, aliran musiknya terdengar jauh berbeda dengan warna musik di awal kemunculan musik punk. Apalagi dengan makna punk sebenarnya, uh, beda jauh bro. So, musik yang mengatasnamakan punk saat ini, hanya sebatas plagiat gaya dan penampilan ala punk saja. Nah, kalo band yang ngepunk hanya sebatas plagiat, gimana ama temen-temen kita yang punkers itu, termasuk si Yanto? Tentunya mereka cuma sekedar ikut arus doang. Ngikut gaya. Padahal kalo ditanya esensi punk, paling-paling mereka lola alias loading lambat. Malu atuh…

Punk is already dead

Sobat, menilik sejarah yang udah dipaparin diatas, ternyata memang punk, punkers atau apapun itu, maknanya sudah kadaluarsa. Terlebih lagi arti punk yang sudah bergeser jauh dari pengertian pada awal kemunculannya. Hal ini membuktikan kalo punk dan segala asesorisnya udah mati. Ya, mati, dan ga akan bangun lagi. Sebatas plagiat, itulah generasi punk palsu yang ada di sekitar kita saat ini. Apa? Mau protes, silakan aja. Toh ga ada untungnya kamu bela-belain gaya hidup bejat seperti punk. Yang serba ga mau diatur ga punya malu, dan ga mau ngakui sesuatu sebelum dirinya diakui. Eit..jangan sampe deh ga ngaku beragama. Kualat ga bisa "pup" ke belakang baru tahu rasa. Hehe. Sorry bro, bukannya kita sewot, cuma kita pengen sobat semua ngerti kalo punk itu gaya hidup yang ga bener. Kalo diterusin, kita sendiri yang bakal susah. Dunia dan akherat.

Tak tahu malu, seperti yang ditampilin oleh anak-anak punk, sudah sepantasnya ga perlu ditiru. Rasulullah udah ngasih warning bagi kita, "Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah semaumu." (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ahmad). Ditambah lagi sabda Rasulullah SAW, "Malu hanya akan membawa kepada kebaikan." (HR. Bukhari). Jadi, buat yang masih ngaku punkers, malu dong. Tapi malu aja ga cukup. Kudu dibarengi ama kerja nyata. Ok !!

Nah sobat, fenomena punk dan punkers yang mewabah, seharusnya bisa diwanti-wanti oleh negara, sang penerap hukum. Masalahnya bumi kita tempat berpijak ini ga diterapin aturan Allah SWT, sehingga kaum yang namain dirinya punk bebas berkeliaran (kayak taman safari aja neh). Tapi memang bener lho. Buat kamu yang udah kepengaruh ama budaya punk, atau ga mau terpengaruh, segera deh kaji Islam. Ikutan forum majlis yang bisa nyadarin kita. Plus dakwahkan Islam ke rekan yang lain, supaya mereka mendukung aturan Allah dan Rasul-Nya berupa syariat Islam. Semangat ya, Allahu Akbar!!


SEKILAS FAKTA TENTANG PUNK

Gaya hidup

Kegagalan Reaganomic dan Di Indonesia, istilah anarki, anarkis atau anarkisme digunakan oleh media massa untuk menyatakan suatu tindakan perusakan, perkelahian atau kekerasan massal. Padahal menurut para pencetusnya, yaitu William Godwin, Pierre-Joseph Proudhon, dan Mikhail A Bakunin, anarkisme adalah sebuah ideologi yang menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara, dengan asumsi bahwa negara adalah sebuah bentuk kediktatoran legal yang harus diakhiri.

Negara menetapkan pemberlakuan hukum dan peraturan yang sering kali bersifat pemaksaan, sehingga membatasi warga negara untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Kaum anarkis berkeyakinan bila dominasi negara atas rakyat terhapuskan, hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya manusia akan berkembang dengan sendirinya. Rakyat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan negara.

Namun, kaum punk menyadari sepenuhnya bahwa ideologi anarkisme, seperti yang pernah dikatakan Lenin, adalah paham yang naif milik para pemimpi dan orang-orang putus asa. Mereka menyadari ideologi ini sulit dikembangkan karena masyarakat masih membutuhkan negara untuk mengatur mereka.

Kaum punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan mereka. Punk etik semacam inilah yang lazim disebut DIY (do it yourself/lakukan sendiri).

Punk Indonesia

Berbekal etika DIY, beberapa scene punk di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Mereka membuat label rekaman sendiri untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian usaha ini berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim disebut distro.

CD dan kaset tidak lagi menjadi satu-satunya barang dagangan. Mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan tato. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan harga yang amat terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro adalah implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi's, Adidas, Nike, Calvin Klein, dan barang bermerek luar negeri lainnya.

Georg Lukacs, seorang pemikir sosialis dari Jerman, menertawakannya sebagai sikap hands off kaum avant-gardis yang memilih untuk melarikan diri dari tanggung jawab kolektif memperbaiki kebobrokan sistem. Dengan kata lain, pengakuan atas eksistensi diri akan didapat dengan sendirinya apabila kaum punk mampu mengakui eksistensi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Tidak seperti heavymetal misalnya, punk lebih mengutamakan pelampiasan energi dan curhat daripada aspek teknis bermain musik. Pokoknya nggak usah jago-jago amat, pokoknya oke dan yang namanya unek-unek bisa keluar. Asal tahu aja, almarhum Sid Vicious dari Sex Pistols itu terkenal nggak bisa main. Tapi orang toh nggak memandang remeh dia. Malah dianggap cool.

Sex Pistols dan The Clash memasukkan aspek baru dalam perkembangan punk, yaitu protes sosial dan politik. Kedua grup ini menjadi penyambung lidah kaum muda Inggris yang frustasi. Mulailah mereka menyuarakan protes terhadap segala ketidakadilan yang mereka lihat sehari-hari. Cuma saja pendekatan mereka berbeda, sesuai latar belakang kehidupan masing-masing.

Minggu, 27 Maret 2005

Layar

Simple Plan dan Fenomena Pop-Punk
http://www.korantempo.com/korantempo/ 2005/03/27/Layar/krn,20050327,36.id.html

Grup musik pop-punk dari Kanada ini pentas di Gedung Tenis Senayan, Jakarta, kemarin. Musik pop-punk adalah "anak" dari punk-rock dan "cucu" dari musik rock 'n' roll.

Maka lahirlah aliran musik punk yang belakangan menjamur di dunia lewat pop-punk atau new-school punk. Seperti juga kehadiran musik punk-rock pada 1970-an, musik pop-punk bukan sebuah revolusi atas musik yang ada sebelumnya. Dia "anak" dari punk-rock dan "cucu" dari musik rock 'n' roll yang dihadirkan para baby boomers (generasi angkatan 1950 akhir dan 1960-an).

Lahirnya generasi pop-punk sebenarnya ditandai dua gelombang. Pertama lewat kesuksesan grup musik pop-punk Amerika, seperti lewat Green Day, Blink-182, dan The Offspring di akhir era 1990-an. Seluruh grup musik era ini mempunyai kesamaan bermusik, yaitu paduan suara gitar yang dimainkan secara keras, lirik sederhana, dan melodi yang disukai stasiun radio.

Jika pada genre musik lain harmoni menjadi teramat penting, musik pop-punk malah berusaha mengabaikannya. Bangunan lagu pop-punk biasanya terdiri dari banyak "gunung" dan "lembah", sehingga lagu menjadi begitu bergelombang. Pola musik seperti inilah yang membuat para pendengar musik pop-punk menjadi terhanyut secara emosional.

Suasana lagu yang pada bagian awalnya bermelodi dan berharmoni enak, tiba-tiba disusul harmoni yang tak keruan dan beat pun menjadi cepat, lalu kembali lagi ke suasana tenang, balik lagi mengeras dan cepat, dan tiba-tiba saja terhenti. Selesai.

Buat penggemarnya, musik ini serasa memberi energi kesegaran. Dengan kekuatan seperti itu, musik pop-punk benar-benar merupakan revitalisasi kekuatan musik rock 'n' roll dan punk.

Sedangkan gelombang kedua yang menandai kelahiran pop-punk, lahirnya sejumlah grup musik yang mengekor kesuksesan grup pertama dan mendapatkan keuntungan dari berbagai saluran TV musik, seperti MTV. Termasuk kelompok ini antara lain Bowling For Soup, New Found Glory, Sum 41, Good Charlotte, dan Simple Plan.

Fenomena itu sempat menimbulkan kekhawatiran di Inggris dan Amerika sehingga para orang tua diperingatkan agar menghindarkan anak-anaknya dari pengaruh budaya punk. Benar kata Joe Strummer, pemusik punk dari kelompok the Clash: "Kami telah membuatnya dengan cara yang lain. Kami membuat punk sebagai bagian budaya."

Tapi, budaya punk yang dilahirkan generasi pop-punk berbeda. Meski semuanya menyuarakan kebebasan, mereka tidak sampai menyentuh masalah politik dan sosial. Baju yang dikenakan pun tidak lusuh, gelap, dan dekil. Sebaliknya, mereka kerap mengenakan baju berwarna terang. Topi, spikes, dan bicycle chains menjadi aksesori wajib. Tatanan rambut memang mirip gaya rambut "spike" atau terlihat "mohawk", cuma mereka tampak lebih rapi, tidak terlalu tinggi, dan tidak botak di tepi.

Lingkungan sekolah dan dunia remajalah yang membuat budaya pop-punk terkesan lembut. Salah satu grup musik aliran ini yang lahir di sekolah adalah Simple Plan. Dibentuk pada 1999 di sebuah sekolah di Montreal-Kanada, grup dimotori Pierre Bouvier (vokal) dan beranggotakan Jeff Stinco (gitar), David Desrosiers (bas), Sebastien Lefebvre (gitar), and Chuck Comeau (drum).

Semua personel dalam grup memang bersahabat sejak sekolah menengah. Kala itu Comeau dan Bouvier, yang berusia 13 tahun, membentuk grup musik sekolah bernama Reset. Sebagai sebuah band sekolah, Reset cukup dikenal, terutama di kalangan pelajar. Sejumlah tur keliling sekolah pun mereka lakukan.

Debut album pertama Reset lahir pada 1997, tapi tidak sukses. Lantaran itu Comeau kembali ke bangku sekolah dan ternyata membawa berkah. Ia bertemu kembali dengan sahabatnya, Stinco dan Lefebvre. Pertemuan dilanjutkan dengan pembentukan kembali grup musik sekolah.

Ketika itu Bouvier sendiri masih menggawangi Reset. Lantaran bosan, Bouvier akhirnya meninggalkan Reset dan bergabung dengan Comeau. Sejurus kemudian David Desrosiers bergabung. Lahirlah Simple Plan.

Pada tahun 1975 muncullah kaum punk . Penampilan kaum punk ini seringkali dikacaukan dengan kaum skinheads. Term punk sendiri adalah bahasa slang untuk menyebut penjahat atau perusak. Sama seperti para pendahulunya, kaum punk juga menyatakan dirinya lewat dandanan pakaian dan rambut yang berbeda. Orang-orang punk menyatakan dirinya sebagai golongan yang anti-fashion, dengan semangat dan etos kerja 'semuanya dikerjakan sendiri' ( do-it-yourself ) yang tinggi. Ciri khas dari punk adalah celana jins sobek-sobek, peniti cantel ( safety pins ) yang dicantelkan atau dikenakan di telinga, pipi, asesoris lain seperti swastika, salib, kalung anjing, dan model rambut spike-top dan mohican . Model rambut spike-top atau model rambut yang dibentuk menyerupai paku-paku berduri adalah model rambut standar kaum punk. Sementara model rambut mohican atau biasa disebut dengan mohawk yaitu model rambut yang menggabungkan gaya spike-top dengan cukuran di bagian belakang dan samping untuk menghasilkan efek bentuk bulu-bulu yang tinggi atau sekumpulan kerucut, hanya dipakai oleh sedikit penganut punk. Kadang-kadang mereka mengecat rambutnya dengan warna-warna cerah seperti hijau menyala, pink, ungu, dan oranye.
Previous Post
Next Post

0 komentar: