Kamis, 26 Oktober 2017

Review Buku Fiqih Minoritas

WABAH” KAJI ULANG HUKUM-HUKUM ISLAM
Judul Asli : The Fiqh of Minorites; The New Fiqh to Subvert Islam
Judul Terjemahan : Fikih Minoritas; Upaya Menikam Islam
Penulis : Asif K. Khan
Penerjemah : M. Ramdhan Adhi
Penerbit : Pustaka Thariqul Izzah
Cetakan : Pertama, Juni 2004
Jumlah : 80 halaman + viii
Wabah kaji ulang terhadap hukum-hukum Islam dewasa ini bisa dikatakan semakin menjadi-jadi. Hal ini terjadi seiring derasnya arus moderenisasi yang didengungkan oleh negera-negara Eropa dan Barat kepada dunia ke tiga atau negara-negara berkembang.

Pemikiran moderenisasi yang dipropagandakan tersebut setidaknya memuat dua hal yang selama ini sudah jamak diketahui orang, yakni: pertama, semakin tingginya kemajuan teknologi yang berkembang. Kedua, semakin meluasnya life style barat yang masuk ke dalam negara-negara berkembang yang notabenenya memiliki life style yang berbeda.

Apabila yang dimaksud dengan moderenisasi adalah semakin tingginya teknologi yang dimiliki oleh manusia, dalam hal ini Islam sebagai ideologi tidak mempunyai masalah dengannya. Namun, apabila yang dimaksud adalah berupa berubahnya life style seseorang, maka Islam tidak membolehkannya. Karena, dalam Islam seorang Muslim haruslah menjadikan life style-nya berdasarkan kepada aqidah Islam dan hukum syara sebagai tolak ukurnya perbuatannya sekaligus sebagai sumber hukumnya.

Salah satu life style dalam bidang pemikiran yang ditularkan oleh Eropa dan Barat adalah pemahaman-pemahaman yang mengatakan bahwa hukum atau syariah Islam sudah tidak lagi sesuai dengan semangat zaman saat ini. Sehingga diperlukan reinterpretasi terhadap hukum-hukum Islam agar dapat sejalan dengan perkembangan masyarakat yang katanya semakin majemuk baik dalam hal kuantitas maupun kualitas.

Lebih lanjut, kaum muslimin yang tinggal di negeri-negeri Eropa dan Barat juga tidak luput dari target pembaratan life style mereka. Untuk tujuan itu, lahirlah sejumlah pemikiran yang menganjurkan (ajakan) agar kaum muslimin yang ada disana untuk berintegrasi dengan penduduk setempat (pribumi) tanpa mengindahkan lagi apakah perbuatan tersebut diperbolehkan oleh syariat Islam atau tidak.

Inilah latar belakang ditulisnya buku yang berjudul ”The Fiqh of Minorites; The New Fiqh to Subvert Islam” oleh Asif K. Khan. Penulis memberikan contoh salah satu bentuk anjuran integrasi (baca, mengasimilasi atau menyesuaikan) antara kaum muslimin yang ada di Eropda dan Barat adalah agar kaum muslimin bergabung dengan pemilihan anggota parlemen yang berlangsung.

Dalam prosesnya, ternyata banyak kaum muslimin yang telah bergabung dalam proses integrasi tersebut. Namun, ada juga yang berupaya untuk memecahkan masalah kaum muslim di Barat dengan berupaya mendasarkan metodenya di atas asumsi-asumsi yang tidak sesuai dengan realitas, atau tidak sesuai dengan karakter Islam, akibatnya, mereka menjadi pragmatis dalam melakukan pendekatan untuk memecahkan masalah yang terjadi disana.

Asif K. Khan menulis, bahwa salah satu faktor penyebab mengapa umat Islam mudah sekali dipermainkan oleh mereka (baca, Barat dan Eropa) adalah dikarenakan sudah tidak ada lagi institusi (negara Khilafah) dalam melindungi kaum muslimin. Faktor lain mengapa umat Islam mudah dikuasai adalah dikarenakan lemahnya kaum muslimin terhadap pemahaman agama Islam itu sendiri.

Pentingnya Buku ini


Buku ini sangat penting untuk dibaca oleh kaum muslim terlebih lagi adalah para aktivis Islam yang mengendaki kembali diterapkanya syariah Islam dalam sebuah institusi (daulah khilfah) yang melindunginya.

Buku ini secara khusus membahas dan sekaligus menjawab lontaran-lontaran pertanyaan dan tudingan yang dituduhkan kepada hukum Islam. Berkaitan dengan itu, berikut penulis kutipkan beberapa hal yang dituliskan oleh Asif K. Khan:

Letak Kesalahan Fiqih Minoritas


1. Klaim Bahwa Syariat Diam Terhadap Masalah-Masalah Baru
Para Pengusung Fikih Minoritas mengklaim bahwa syariat diam terhadap masalah-masalah baru, serta bahwa metodologi Islam yang ada sekarang ini tidak lagi mampu digunakan untuk menghadapi masalah-masalah baru tersebut. Untuk mendukung pandangannya ini, mereka mengutip salah satu hadist mulia dari Jurthum bin Nashir bahwa Rasulullah saw. bersabda:

Allah Azza wa Jalla telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian mengabaikannya. Dia juga telah mengharamkan beberapa perkara, maka janganlah kalian melanggarnya. Selain itu, Dia telah menetapkan beberapa batasan, maka janganlah kalian melebihinya. Dia juga diam dalam beberapa hal karena belas kasihannya pada kalian, bukan karena lalau. Karena itu, janganlah kalian mencari-carinya (HR Daruqutni, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim).

Thariq Ramadhan, yang berupaya merumuskan suatu metodologi khusus bagi kaum Muslim di Barat, dalam bukunya To be a European Muslim, berbicara tentang maksud diam (sakata) yang disebutkan dalam hadist tersebut, dengan mengatakan bahwa hal itu mengindikasikan suatu ‘prinsip dasar kemubahan...’
Jika syariat tidak menetapkan aturan atas suatu perkara, lalu seorang Muslim mengadopsi aturan selain dari syariat, maka ia dapat dikatakan telah menyerahkan penilaian itu pada sesuatu selain syariat — dan ini dilarang oleh Allah SWT. Dengan bersikap begitu, disadari atau tidak, ia telah mengklaim bahwa syariat tidak datang membawa aturan untuk seluruh keadaan. Jadi, klaim bahwa ada kemubahan untuk merujuk pada yang selain Islam dengan dalih bahwa syariat tidak memberikan aturan atas perkara tersebut, adalah klaim yang salah dan gegabah.

Oleh karena itu, pernyataan bahwa apabila syariat diam atas suatu perkara berarti perkara itu mubah jelas tidak dapat diterima. Klaim bahwa syariat diam atas suatu perkara dan tidak menetapkan hukum atas perkara tersebut merupakan penghinaan terhadap syariat. Ini juga bertentangan dengan realitas, karena nyatanya syariat tidak pernah diam atas segala sesuatu.

2. Klaim Bahwa Islam Berubah Sesuai Zaman dan Tempat
Sebagian pihak mengklaim bahwa ada prinsip yang menyatakan bahwa Islam berubah “...dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.” Para penyokong gagasan ini mengatakan bahwa karena kita sekarang hidup di era modern, dan di Barat, maka kita perlu suatu metodologi baru untuk menggaali hukum-hukum Islam. Sebagian ulama terdahulu, terutama dari kalangan mazhab Hanafi, memang mengadopsi prinsip perubahan hukum menurut zaman dan tempat ini, tapi kita juga harus memahami latar belakang di balik pandangan kalangan Hanafi tersebut; dan ternyata konsep mereka berbeda dengan pandangan yang dikemukakan orang-orang yang menghendaki adanya metodologi baru tadi. Menurut ulama Hanafiyah, Ibnu Abidin, maksud dari ‘hukum yang berubah’ itu bukan berarti hukum-hukum syariat akan berubah sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Adapun yang dimaksud dengan perubahan hukum sesuai perubahan waktu dan tempat versi Hanafiyah sebenarnya adalah bahwa hukum-hukum yang berdasarkan adat kebiasaan dan tradisi (urf) atau aturan-aturan fikih yang berdasarkan pendapat ahli fikih (ra’yi) sering kali dirumuskan sesuai dengan pertimbangan adat kebiasaan yang ada.

Oleh karena itu, pendapat tersebut bisa saja ditinggalkan jika adat kebiasaan yang menjadi dasar hukumnya berubah seiring perubahan masa. Sementara itu, aturan-aturan yang dibangun berdasarkan nash al-Quran dan Sunnah tidak pernah berubah. Maka itu, para ulama ushul fikih menetapkan bahwa adat kebiasaan atau tradisi yang bertentangan dengan nash al-Quran dan Sunnah adalah adat yang tidak diterima (urf al-fasid).

2.1. Perubahan Metodologi Syafi’i

Salah satu pijakan dari pemahaman tentang perubahan hukum menurut zaman dan tempat ini —di antara berbagai justifikasi yang lain— adalah bahwa Imam Syafi’i r.a. juga mengubah metodologi beliau ketika berpindah dari Madinah ke Baghdad, lalu dari Baghdad ke Kairo.

Alasan sebenarnya adalah, bahwa sang Imam besar itu mengubah metodologinya karena beliau bertemu dengan sejumlah mujtahid dari mazhab yang berbeda-beda dari Irak dan Mesir, yang masing-masing membawa metodologi penggalian hukum dan cara pandang terhadap nash yang berbeda dari dirinya.

3. Memanipulasi Pertanyaan

Orang-orang yang mendukung gagasan Fikih Minoritas mengatakan bahwa kita tidak bisa lagi memberikan jawaban ‘tradisional’ terhadap masalah fikih. Meskipun realitas jawaban itu sudah dikenal luas di dalam khasanah fikih Islam, kita perlu merumuskan kembali pertanyaan-pertanyaan itu. Contohnya, seperti yang disebutkan oleh Thaha Jabir al-Alwani: “Seseorang bertanya, ‘Apakah seorang wanita Muslimah haram menikah dengan seorang non-Muslim, dan apa yang harus dilakukan?”

Pernikahan seorang wanita Muslim dengan orang kafir jelas dilarang sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Quran:
“Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka...”

Ayat tersebut hanya memiliki pengertian yang tunggal, yaitu bahwa pernikahan seorang wanita Muslimah dengan pria kafir dianggap batal, hampa, dan tidak memiliki niali apa pun.
Namun dalam perspektif Fikih Minoritas, jawaban ini harus ditinjau kembali dengan merumuskan ulang pertanyaannya. Dalam kasus ini Thaha Jabir al-Alwani menyebutkan situasinya sebagai berikut: “Wanita itu baru saja masuk Islam dan ia memiliki seorang suami dan dua orang anak. Sang suami mendukung keputusan sang istri, tetapi tidak berminat ikut-ikutan masuk Islam. Setelah masuk Islam, wanita itu diberitahu bahwa ia harus menceraikan suaminya yang telah dinikahinya selama 20 tahun. Dalam keadaan seperti ini, pertanyaannya seharusnya adalah, ‘Mana yang lebih baik bagi wanita itu, menikah dengan seorang suami yang non-Muslim ataukah meninggalkan agamanya?’ Jawabannya adalah, bahwa meninggalkan agama jau lebih mudharat, oleh karena itu, ia diperbolehkan untuk meneruskan hubungan perkawinannya dan ia bertanggung jawb di hadapan Allah SWT pada hari kiamat.

Ini adalah ketetapan yang tidak masuk akal, yang muncul dari perspektif Fikih Minoritas. Masalah seperti itu pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Ketika itu putri beliau, Zainab r.a., masuk Islam, sedangkan suaminya tetap kafir. Rasulullah saw. memerintahkan putrinya untuk segera meninggalkan suaminya dan tidak melanggar perintah yang tegas-tegas berasal dari Allah SWT , karena melanggar perintah Allah SWT adalah kejahatan terbesar.
Memanipulasi pertanyaan adalah sesuatu hal yang mungkar. Hal itu menjadikan akal dan realitas sebagai sumber hukum, bukan sebagai subjek hukum yang hendak diatur oleh syariat. Dengan demikian, untuk menyelesaikan masalah seperti ini, yang kini banyak terjadi, yang seharusnya kita lakukan adalah merujuk pada nash-nash syara’ dan mempelajarinya untuk mengetahui bagaimana hukum Islam terhadap masalah tersebut. Hal ini juga berlaku bagi masalah apa pun.

Penjelasan tentang Maqasid Syariah


Sebagian orang mengklaim bahwa syariat datang dengan motif (‘illat) memberikan kemaslahatan bagi manusia. Dari pandangan tersebut mereka mengambil kesimpulan ada lima kemaslahatan yang menjadi tujuan (maqasid) syariat, yaitu melindungi agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta. Menurut pandangan ini, tujuan-tujuan itu adalah motif (‘illat) bagi hukum-hukum syariat secara keseluruhan.
Dari sini kemudian dapat disimpulkan bahwa apabila syariat secara keseluruhan berupaya mencapai tujuan itu —dan konsekuensinya hal itu menjadi ‘illat bagi hukum-hukum secara keseluruhan— maka tujuan itu harus juga menjadi tujuan, dan ‘illat, bagi tiap-tiap hukum secara terperinci satu per satu. Hal ini diperkuat dengan hasil kajian komprehensif (istiqra) terhadap perincian hukum itu, yang menunjukkan bahwa memang hukum-hukum tersebut berusaha merealisasikan kemaslahatan yang lima tadi. Jadi, setelah mengkaji nash-nash syara’ secara komprehensif, dapat dilihat dari hikmah dan ‘illat yang terkandung di dalam nash, dan juga dari hasil hukum itu sendiri, tujuan-tujuan syariat itu berusaha direalisasikan. Kesimpulannya, tujuan atau kemaslahatan yang dicari oleh syariat adalah ‘illat penetapan hukum-hukum syara’.

Maqasid yang lima itu lahir sebagai hasil dari kajian komprehensif (istiqra) atas nash-nash syara’, maka maqasid yang lima itu berfungsi sebagai dalil kulliyah bagi perbuatan-perbuatan yang tidak memiliki dalil spesifik. Jadi, apabila perbuatan itu mewujudkan tujuan syariat, maka tujuan itu diambil sebagai maslahat dari perbuatan itu. Karena tujuan diperlakukan sebagai ‘illat, maka apabila sesuatu perbuatan memenuhi tujuan syariat, dengan sendirinya perbuatan itu telah dianggap sah memenuhi ‘illat-nya.

A. Maqasid adalah Tujuan Syariat Secara Keseluruhan, dan Bukan Tujuan Tiap-Tiap Hukum

Anggapan bahwa tujuan (maqasid) yang dimaksud adalah tujuan tiap-tiap hukum tidaklah benar. Hal ini karena kemaslahatan manusia seluruhnya adalah tujuan dari syariat, bukan ‘illat dari syariat. Misalnya, Allah SWT berfirman:

Tidaklah Kami mengutus engkau selain untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiyaa’ [21]: 107)

Rahmat di sini merupakan penjelasan tentang risalah secara keseluruhan, atau dengan kata lain, syariat secara keseluruhan datang demi kemaslahatan atau kebaikan manusia. Akan tetapi, hal ini tidak berarti tiap-tiap hukum datang untuk kemaslahatan, karena tidak ada indikasi dalam nash tersebut yang memberikan petunjuk tentang masalah kemaslahatan dan kemudharatan. Hukum telah ditetapkan tanpa memandang apa yang maslahat atau mudharat.

B. Maqasid adalah Hasil dari Hukum, Bukan ‘Illat dari Hukum
Mengenai maqasid yang lima tadi, kelimanya merupakan hasil dari hukum-hukum tertentu dan bukan ‘illat atas hukum-hukum tertentu itu. Contohnya, Islam memperbolehkan poligami tanpa memberitahukan ‘illat-nya. Akan tetapi, realitas menunjukkan bahwa penerapan hukum poligami ini ternyata mampu memecahkan sejumlah masalah tertentu. Contohnya, apabila sang istri tidak dapat melahirkan anak atau jumlah wanita di dalam suatu masyarakat lebih besar dibanding jumlah laki-lakinya; masalah-masalah ini dapat dipecahkan melalui penerapan aturan poligami. Meskipun penerapan hukum poligami nyata-nyata membawa hasil positif tertentu, tapi hasil-hasil positif itu sama sekali bukan ‘illat penetapan hukum poligami itu sendiri.

C. Hikmah Adalah Tujuan yang Ditetapkan oleh asy-Syari’, dan Bukan ‘Illat Hukum

Hikmah adalah hasil penetapan hukum yang dikehendaki oleh Pembuat Hukum, dan bukan alasan Pembuat Hukum menetapkan suatu hukum. Jadi, ketika Allah SWT, berfirman:

Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka (QS. Al-Hajj [22]: 28)

Manfaat yang disebutkan dalam ayat ini adalah hasil dari penetapan hukum mengenai haji. Manfaat tersebut bukan ‘illat yang menjadi dasar penetapan kewajiban haji, karena jika demikian, maka haji tidak lagi wajib apabila manfaatnya telah diperoleh. Hal ini jelas absurb.

Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa hasil atau akibat dan tujuan suatu hukum tidak ada kaitannya dengan proses penetapan dan penggalian hukum tersebut karena hasil dan tujuan itu muncul setelah hukum ditetapkan. Hanya ‘illat saja yang relevan dengan masalah penetapan hukum ini. Hal ini karena ‘illat adalah hal yang menjadi motif hukum itu ada. Dengan demikian, hikmah dan maqasid tidaklah relevan dengan masalah penetapan aturan.

D. Maqasid Bukanlah Dalil Kulli (Umum) yang Dapat Berfungsi sebagai ‘lllat bagi Perbuatan-Perbuatan yang Tidak Memiliki Dalil Spesifik

Pemahaman bahwa maqasid diambil dari hasil kajian komprehensif atas nash-nash dan karena itu bisa berfungsi sebagai dalil kulli untuk mencakup perbuatan-perbuatan yang tidak memiliki dalil spesifik adalah salah dipandang dari dua perspektif. Pertama, maqasid hanyalah suatu deskripsi realitas hukum, dan bukan dalil kulli. Kedua, dalil kulli bukanlah deskripsi atas realitas hukum, melainkan prinsip yang terkandung di dalam sebuah dalil atau kumpulan dalil. Dalam konteks ini, prinsip ijarah diambil dari ayat tentang menyusui. Tentu tidak sama dengan maqasid. Maqasid adalah hasil dan tujuan dari hukum tertentu yang menjadi dasar pengambilannya. Hasil dan tujuan ini tidak dapat digunakan senagai dalil bagi perbuatan lain karena hukum syara’ diambil dari sebuah atau sekumpulan dalil, tidak dari hasil dan tujuan suatu hukum tertentu. Jadi, fakta bahwa obat-obatan psikotropika, seperti kokain dan heroin berstatus hukum haram diambil dari hadist Rasulullah saw.:

Segala sesuatu yang memabukkan adalah khamr dan khamr itu haram.

Dalil atas pelarangan narkotika seperti itu tidak diambil dari tujuan melindungi akal, yang tidak lebih dari sekadar hasil hukum-hukum tertentu dan karenanya tidak dapat berfungsi menjadi dalil.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas jelas hakikat Fikih Minoritas, yaitu suatu gejala proses berpikir yang rusak, yang berupaya mencari jawaban atas masalah-masalah yang dihadapi karena adanya dominasi dunia Barat. Fikih Minoritas adalah sebuah proses berpikir yang telah terpengaruh oleh Kapitalisme, dan tidak mampu berpikir melampaui batas-batas yang ditetapkan ideologi yang rusak itu.
Previous Post
Next Post

0 komentar: